Mereka yang Membangun

INDONESIA

dari Nol

Indonesia tidak serta-merta merdeka begitu saja. Butuh perjuangan 350 tahun agar negara ini diakui sebagai salah satu bagian dunia yang berdaulat, adil, dan makmur -- sesuai dengan Pembukaan UUD 1945
proklamasi-indonesia
Pembacaan teks Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia adalah kerja kolektif. Bukan sekadar upaya satu pihak, apalagi dua orang saja; Bung Karno dan Bung Hatta. Tapi untuk merepresentasikan kemerdekaan, bolehlah kedua “Bung” itu ada di barisan terdepan. Bukan soal siapa yang memproklamirkan, tapi kemerdekaan adalah soal kesepakatan bersama untuk memperjuangkan segala hak.

Merdeka sesungguhnya memiliki dua sisi, yakni sebelum dan sesudahnya. Sudah sangat rinci dijelaskan bagaimana kondisi Indonesia sebelum merdeka, bagaimana para pejuang merebut kemerdekaan baik dengan angkat senjata (perang) maupun dengan angkat bicara (diplomasi). Sudah jelas, tidak perlu diterangkan lagi.

Tapi, bagaimana dengan pasca merebut kemerdekaan? Bayangkan, ketika Indonesia merdeka, angka melek huruf rakyat kita hanya 4 persen. Jika angka itu kita kalkulasikan hari ini, paling tidak jauh lebih banyak dari jumlah penduduk 1 kabupaten dan kota. Tapi dari orang-orang itulah, kita tahu, pendokumentasian sejarah kita ada. Tidak hanya di buku-buku atau surat kabar, melainkan di hampir setiap tembok jalanan bertuliskan: Freedom Indonesia.

pasar-senen

Seperti yang tadi telah disebut di awal, kemerdekaan Indonesia adalah kerja kolektif. Membangun Indonesia pasca kemerdekaan adalah hal krusial karena artinya Indonesia tengah membangun generasi yang dapat mempertahankan kemerdekaan.

Maka dibutuhkanlah pondasi kuat pasca kemerdekaan ini. Bung Karno dan Bung Hatta tidak akan bisa melakukannya tanpa bantuan orang lain; orang-orang yang sepaham dengan mereka berdua, mau memerdekakan serta membangun generasi yang bisa mempertahankan kedaulatan. Dan mereka inilah yang membangun Indonesia dari nol.

djuanda-kartawidjaja
Ir. Djuanda Kartawidjaja

Ir. Djuanda Kartawidjaja dan Deklarasinya

Cobalah Anda tengok lembaran uang pecahan Rp 50.000 di dompet Anda. Siapa nama pahlawan yang tertera pada salah satu sisinya?

Ia adalah Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang menerjemahkan batas-batas kepulauan Indonesia. Bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Djuanda Kartawidjaja dilantik sebagai Perdana Menteri Indonesia yang ke-10 pada 9 April 1957 silam ketika Republik Indonesia menghadapi persoalan politik dan keamanan di daerah yang sedang memuncak. Bahkan di Jawa Barat sudah terdapat gerakan kekecewaan terhadap pemerintah pusat, seperti yang dilakukan oleh Front Pemuda Sunda.

Munculnya Djuanda ternyata dapat meredam gejolak ini. Pribadi yang tenang, baik dari ekspresi dan gerak gerik tubuhnya, serta tutur katanya yang santun menjadi poin yang dapat meredakan kekecewaan masyarakat pada pemerintah kala itu.

Djuanda memiliki peranan yang sangat krusial dalam pemerintahan Soekarno. Ia menggagas “Deklarasi Djuanda” yang menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan.

Betapa hebatnya Djuanda hingga pemerintahan seorang Bung Karno pun runtuh kestabilannya sepeninggalan Djuanda. Tidak ada lagi penasihat handal dengan ide-ide cemerlang yang siap berdiri di samping Bung Karno hingga akhirnya ia jatuh dari tampuk kekuasaan.

semaoen
Semaoen

Semaoen Sang Buruh Terpelajar dan “Gunting Sjafruddin”

Pada bidang ekonomi, barangkali kita akrab dengan pemahaman koperasi dari Bung Hatta. Tetapi, selain beliau, masih ada dua nama lagi yang punya peran penting pasca kemerdekaan: Semaoen dan Sjafruddin Prawiranegara.

Semaoen hanyalah seorang buruh yang terpelajar. Sebelum Indonesia merdeka, Semaoen sempat belajar ke Rusia. Selama di sana ia mempelajari banyak hal tentang sosialisme.

kartosoewirjo-semaoen-soekarno
Semaoen adalah salah satu dari tiga murid HOS Tjokroaminoto bersama Soekarno dan Kartosoewirjo

Sekembalinya Semaoen ke Indonesia, ia hanya menjadi pegawai pemerintah. Selain itu, Semaoen juga mengajar kelas Ekonomi di Unpad, Bandung. Baru dari sana Semaoen sadar, bahan ajar yang mahasiswa punya semua berasal dari Eropa dan Amerika. Ini bertolak belakang dengan apa yang ia pahami tentang sosialisme.

Dari sana Semaoen akhirnya menulis buku “Ekonomi Indonesia Terpimpin”. Buku itu menjadi satu-satunya buku acuan mahasiswa. Karena sejalan dengan apa yang tengah Bung Karno lakukan pasca kemerdekaan.

sjafruddin-prawiranegara
Sjafruddin Prawiranegara | sumber: Merdeka.com

Berbeda lagi dengan Sjafruddin Prawiranegara. Warisannya terhadap perekonomian Indonesia masih kita rasakan hingga sekarang. Saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama, Sjafruddin Prawiranegara melakukan terobosan luar biasa: Ia menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Pada saat itu dikenal dengan istilah “Gunting Sjafruddin”.

Dikenal sebagai wartawan 5 zaman, Rosihan Anwar adalah pencatat penting sejarah Indonesia dari segi jurnalistik. Sisi humanis yang kerap ia sajikan pada pembacanya, menjadi daya tarik. Bahwa sejarah adalah tentang apa-apa yang hidup.

Dari tangannya kita bisa tahu hal-hal lain tentang Bung Tomo saat membakar semangat, yaitu pakaian yang ia gunakan. Tanpa tulisan yang tidak disebarluaskan, sejarah hanya perlawanan semata, adu-jotos semata.

Meskipun Rosihan Anwar hidup di era kepemimpinan Soekarno sampai SBY, kritiknya tanpa pandang bulu.

Masyarakat boleh saja menilai ia “wartawan istana” karena kedekatannya dengan Soekarno tapi bukan berarti Soekarno tiada pernah dikritiknya. Bahkan seorang Gusdur dikatakan kelakuannya sama saja dengan Soeharto terkait skandal Buloggate.

Namun, begitulah Rosihan Anwar. Ia mengkritik bukan untuk menjatuhkan, tetapi menempatkan kritik sebagai penyeimbang dan bagian untuk membangun.

hb-jassin

H.B. Jassin dengan Goresan Sastranya

Berbeda dengan H.B. Jassin yang berjasa dalam mendokumentasikan karya sastra dunia, terutama sastra Indonesia. Tanpa upayanya, mungkin hingga sekarang kita tidak akan mengenal sastrawan bernama Chairil Anwar.

Pembabakan yang dilakukan Paus Sasta (julukan untuk H.B. Jassin yang semula hanya sekadar becandaan) membantu kita menemukan dan melihat perkembangan sastra Indonesia sejak masa kolonial sampai ia tutup usia.

Pernah sempat dipenjara karena membela cerpenis Indonesia yang dianggap melecehkan. Ia percaya, imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan, imajinasi tidak bisa diadili dan disetarakan dengan dalil agama.

Jika boleh mengutip Sapardi Djoko Damono, ia (H.B. Jassin) jauh lebih mencintai karya-karya kita daripada kita sendiri.

yap-thiam-hiem

Yap Thiam Hien yang Memperjuangkan HAM

Peperangan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali korban. Yang merugi tentu saja manusia-manusia itu sendiri. Nyawa tidak bisa diganti dengan apapun. Pasca kemerdekaan Indonesia, pada masa 1950an, perang ideologi sedang panas-panasnya.

Kemudian kita mengenal Yap Thiam Hien. Segenap hidupnya dihabiskan untuk melakukan advokasi terhadap rakyat kecil, termasuk korban politik dan pelanggaran HAM.

Secara tegas ia menolak dan memperjuangkan hak mendasar manusia: hidup. Yap Thiam Hiem menolak segala bentuk hukuman mati. Ia juga kerap memberikan advokasi kepada para pejuang kemerdekaan karena korban politik.

Moh. Natsir, Moh. Roem, Mochtar Lubis, St. Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan H. Princen, merupakan orang-orang yang telah mendapat jasanya.

Oleh karena itu, sejak tahun 1992, namanya dianugerahkan dalam penghargaan perjuangan HAM: Yap Thiam Hien Award.

Bung Tomo merupakan cerita lain tentang peperangan. Malah, berkat jasanya memimpin pasukan di Surabaya, kedaulatan Indonesia sebagai Negara yang merdeka tetap utuh.

Lewat pidato-pidatonya yang disiarkan melalui radio, mampu membakar semangat rakyat Indonesia untuk terus melawan dan berjuang.

Meski secara langsung tidak mendapat restu dari Bung Karno untuk melakukan perlawanan, Bung Tomo bersikukuh kembali mengangkat senjata dan kembali berperang. Sampai pada akhirnya Surabaya menjadi lautan api pada 10 November 1945. Sebulan lamanya pertempuran di Bumi Surabaya.

Pidato dan pendekatannya terhadap pejuang menjadi kunci kepemimpinan Bung Tomo kala itu. Semisal, ia mampu membawa rombongan para ulama dan kiai dari beberapa daerah untuk membantu perlawanan di Surabaya.

Peperangan memang tidak menghasilkan apa-apa, kecuali korban. Lebih dari 30.000 orang meninggal saat pertempuran itu. Namun, kedaulatan Indonesia berhasil dipertahankan, meski kembali lewat peperangan.

SURABAYA 10 NOVEMBER

pengibaran-bendera-proklamasi-kemerdekaan-ri

Jika dulu Indonesia lahir tidak dengan perjuangan, bisa jadi Indonesia lahir dari para imajinasi-imajinasi para pendahulu kita. Mereka yang mampu mengimajinasikan Indonesia, adalah Indonesia hari ini.

Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Indonesia sudah hadir dalam bumi manusia kita? Bila boleh menjawab sendiri, kami kutipkan satu petikan dari Amir Syarifuddin, yang semoga menjawab:

"Konsep kewarganegaraan bukan berdasarkan atas darah dan ras, melainkan berdasarkan tempat kediaman dan hak-hak yang melekat sebagai warga negara."

Beberapa tokoh di atas kami pilih berdasarkan ketersediaan konten dan kepopuleran yang dibahas oleh Kompasianer. Masih ada banyak sekali tokoh yang juga memperjuangkan serta membangun Indonesia dari nol dan tidak menutup kemungkinan bagi kami untuk membahas mereka di kemudian hari.